Jakarta, PCplus – Cloudflare, perusahaan terkemuka dalam konektivitas cloud, merilis studi baru tentang keamanan siber di Asia Pasifik. Laporan tersebut, berjudul “Menavigasi Lanskap Baru Keamanan: Survei Kesiapan Keamanan Siber Asia Pasifik”. Dalam laporan ini disajikan data terbaru tentang kesiapan keamanan siber di kawasan tersebut. Termasuk mengungkap cara organisasi mengatasi ransomware, pelanggaran data, dan kompleksitas yang disebabkan oleh Kecerdasan Buatan (AI).
Baca Juga: 6 Langkah Cara Setting DNS Pribadi Cloudflare di HP Android: Panduan Lengkap
Dalam laporan Cloudflare ditemukan bahwa ransomware menjadi kekhawatiran yang semakin meningkat bagi Indonesia. Studi ini juga mengungkap bahwa 65% dari organisasi yang mengalami serangan ransomware dalam dua tahun terakhir mengaku bahwa mereka telah membayar uang tebusan. Meskipun 80% dari organisasi tersebut sebelumnya telah berjanji secara publik bahwa mereka tidak akan melakukannya. Secara keseluruhan, server Remote Desktop Protocol (RDP) atau Virtual Private Network (VPN) yang berhasil diserang (65%) terbukti menjadi cara masuk yang paling umum bagi pelaku ancaman.
Kuatir terhadap perkembangan Artificial Intelligence (AI)
Survei juga mengungkapkan bahwa 81% responden di Indonesia khawatir bahwa AI dapat meningkatkan kecanggihan dan keparahan pelanggaran data. Selain itu, 40% responden mengatakan bahwa organisasi mereka mengalami pelanggaran data dalam 12 bulan terakhir. Dengan 38% di antaranya menyatakan bahwa mereka telah mengalami 11 atau lebih pelanggaran data. Industri yang paling banyak mengalami pelanggaran data antara lain Perjalanan, Pariwisata, dan Perhotelan (67%). Kemudian diikuti Pendidikan (60%), Pemerintahan (50%), serta TI dan Teknologi. Pelaku ancaman paling sering menargetkan data pelanggan (71%), data keuangan (58%), dan kredensial akses pengguna (56%).
“Dalam lanskap bisnis yang sulit dewasa ini, dampak insiden keamanan siber dan pelanggaran data tidak dapat disangkal. Pimpinan keamanan siber terjebak antara regulasi yang semakin ketat dan sumber daya yang semakin menyusut. Pengelolaan berbagai ancaman ini tidak menjadi lebih mudah. Lingkungan TI yang rumit berhadapan dengan serangan yang tiada henti sementara tim TI yang kekurangan tenaga ahli harus berjuang keras untuk bertahan. Pimpinan keamanan siber harus terus-menerus mengevaluasi tenaga ahli, anggaran, dan strateginya agar tetap dapat mengatasi ancaman siber yang terus berkembang dan melindungi organisasinya,” kata Kenneth Lai, Wakil Presiden, ASEAN di Cloudflare.
Memenuhi persyaratan regulasi
“Regulasi” dan “kepatuhan” juga muncul sebagai tema penting dalam studi tahun ini. Survei menunjukkan bahwa 61% responden membelanjakan lebih dari 5% anggaran TI mereka untuk mengatasi persyaratan regulasi dan kepatuhan. Selain itu, 68% responden melaporkan bahwa mereka menghabiskan lebih dari 10% waktu kerja mereka dalam seminggu. Fokus utamanya untuk mempertahankan kesesuaian dengan persyaratan dan sertifikasi regulasi industri. Namun, investasi dalam regulasi dan kepatuhan telah berdampak positif terhadap perusahaan. Seperti pada tingkat dasar privasi dan atau keamanan organisasi (78%), peningkatan integritas teknologi dan data organisasi (77%), serta peningkatan reputasi dan merek organisasi (72%).
Dari studi Cloudflare ini bisa disimpulkan bahwa mempertahankan diri dari serangan siber tetap menjadi prioritas berbagai organisasi. Dengan 93% responden mengungkapkan bahwa lebih dari 10% anggaran TI mereka telah dikeluarkan untuk keamanan siber.