Teknologi automasi dalam kegiatan operasional perusahaan TIK menghadirkan peluang besar untuk pengalokasian tenaga kerja ke berbagai aktivitas bisnis yang lebih produktif dan merespons tuntutan bisnis yang terus berkembang.
Menurut Fujitsu, teknologi automasi dapat memangkas waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan tugas administrasi rutin. Hal tersebut telah terbukti menurut survei “The Impact of Automation on IT Operations” yang dilaksanakan pada bulan Juni 2017 oleh Freeform Dynamics atas nama Fujitsu.
Menurut Fujitsu, berdasarkan survei tersebut sebagian besar organisasi sepakat bahwa mereka perlu mengadopsi teknologi automasi ke dalam kegiatan operasional TIK mereka, untuk menghadapi tuntutan bisnis yang kian tinggi dan memberikan nilai tambah pada bisnis. Namun, tidak sedikit juga yang mengakui bahwa perjalanan mereka menuju automasi TIK masih panjang.
Sebanyak lebih dari tiga perempat responden survei tersebut menyatakan bahwa tekanan yang dihadapi meningkat dengan “sangat cepat” atau “pasti”. Akibatnya, beberapa departemen TIK mengalami kesulitan untuk terus bertahan.
Sebanyak 1 dari 7 perusahaan TIK (atau sebanyak 14 persen) terdepan yang menjadi responden menyatakan bahwa kemampuan departemen mereka dalam mendukung kebutuhan bisnis baru atau perubahan lainnya cukup “buruk” atau “sangat buruk”. Sementara hampir satu dari sepuluh perusahaan masih berjuang untuk mengendalikan risiko terkait dengan TIK.
Bagi sebagian besar departemen TIK, upaya untuk mengikuti laju perubahan serta mendorong pertumbuhan bisnis menjadi sangat sulit karena beban pekerjaan rutin yang tinggi. Selain itu, makin banyak perusahaan yang menghabiskan waktu lama untuk menyelesaikan pekerjaan administrasi dan manajemen infrastruktur atau platform daripada menjalankan kegiatan penelitian dan perencanaan.
Menurut Fujitsu, sebanyak sepertiga (32 persen) responden setuju bahwa idealnya staf operasi mereka menghabiskan waktu lebih singkat atau seminimal mungkin untuk menyelesaikan tugas administrasi. Di sisi lain, lebih dari setengah responden (56 persen) ingin meluangkan waktu lebih banyak membuat perencanaan bagi masa depan.
Sementara itu, sekitar 50 persen responden lebih mementingkan untuk menghabiskan lebih banyak waktu berkoordinasi dan berkolaborasi dengan pihak lain. Tujuannya, memperbaiki infrastruktur dan proses TIK.
Menurut Fujitsu, tantangan operasional didorong oleh berbagai faktor yang berbeda. Kompleksitas dari alat (68 persen), infrastruktur dan platform (76 persen) menurut Fujitsu merupakan hambatan terbesar dalam operasi. Namun banyak departemen TIK juga mengalami kekurangan tenaga kerja terampil (61 persen) dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada proses manual dan custom scripting (61 persen).
Fujitsu mencatat bahwa semua faktor ini menandakan bahwa departemen TIK mengalami permasalahan bandwidth yang serius ketika mengerjakan tugas utama. Sebanyak 1 dari 5 responden (21 persen) mengatakan bahwa masalah troubleshooting adalah isu utama bagi mereka.
Sementara itu, responden dalam jumlah yang sama juga mengalami kesulitan dalam penerapan aplikasi dan layanan baru (19 persen) dan menerapkan upgrade, serta melakukan konfigurasi ulang (18 persen).
Fujitsu menyatakan bahwa hasil riset ini menggarisbawahi kebutuhan akan pendekatan yang lebih koheren dan terautomasi terhadap operasi TIK untuk mengurangi tekanan pada departemen TIK. Fujitsu menambahkan bahwa hanya sedikit perusahaan yang memiliki kemampuan automasi mumpuni.
Fujitsu menambahkan bahwa saat ini hanya sekitar 21 persen perusahaan yang telah mengadopsi sistem penyediaan sumber daya berbasis kebijakan yang sepenuhnya otomatis, dan hanya 17 persen yang memiliki kemampuan untuk melakukan migrasi beban kerja secara otomatis. Dan hanya dua belas persen perusahaan yang tengah mengandalkan fitur self-diagnostics dan self-healing terautomasi.
Menurut Fujitsu, anggaran, kompleksitas pekerjaan dan kurangnya waktu merupakan hambatan-hambatan utama dalam memanfaatkan potensi dari automatisasi operasi TIK secara penuh, dengan hampir 2 dari 5 (38 persen) responden mengutip kekurangan anggaran atau adanya prioritas-prioritas lain, dan sekitar 29 persen mengkhawatirkan rumitnya desain dan pembuatan sistem.
Di sisi lain, Fujitsu menyatakan bahwa banyak organisasi telah mengenali bagaimana sebuah software-defined data center (SDDC) yang terintegrasi dapat membantu mereka menerapkan strategi automasi.
Hampir seperempat (24 persen) perusahaan sudah mengadopsi konsep SDDC dan seperempat lainnya (24 persen) berencana untuk melakukannya, dengan sebagian besar responden setuju bahwa sistem turnkey yang terintegrasi, dapat membantu meminimalkan waktu, risiko dan biaya implementasi.