
Sudah 71 tahun Indonesia merdeka. Meski begitu, tantangan baru terus hadir. Salah satunya adalah tantangan keamanan cyber. Kini Indonesia menghadapi bentuk penjajahan baru. Bila dulu berjuang melawan penjajahan wilayah, kini kita berjuang melawan penjajahan informasi.
Kini tantangan penjajahan informasi di depan mata. Betapa tidak, hampir seluruh akses komunikasi yang kita gunakan saat ini dikuasai asing. Bahkan operator kerap mengeluh bagaimana mereka yang membangun infrastruktur komunikasi, akhirnya kalah dengan layanan over the top (OTT) seperti WhatsApp dan Facebook.
Tanpa membangun infrastruktur, layanan OTT tersebut bisa mengeruk untung triliunan rupiah setiap tahun dari penggunanya di tanah air. Apalagi layanan tersebut tidak membayar pajak sama sekali, karena tidak punya badan hukum di Indonesia.
Pratama Persadha (Ketua Lembaga Riset CISSReC sekaligus pakar keamanan cyber dan komunikasi) menjelaskan, kini sudah ada pergesaran model penjajahan. Sekarang ini, untuk mengeruk uang negara lain, tidak perlu lagi menjajah secara fisik wilayah negara tersebut.
“Penjajahan model baru ini tidak selalu dilakukan oleh negara-negara maju. Kini korporasi yang kuat bisa melakukan penjajahan informasi. Ini efeknya luar biasa, bisa mempengaruhi stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sebuah negara,” jelasnya dalam siaran pers.
Dijelaskan oleh Pratama, layanan OTT ini kini sangat powerful dan bisa mengeruk uang dari negara manapun. Untuk Indonesia saja, Facebook bisa mengeruk keuntungan sebesar lebih dari Rp500 miliar per bulannya. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah.
“Pemerintah harus punya grand design menghadapi tren bisnis seperti ini. OTT ini banyak yang tidak berbadan hukum di Indonesia, namun punya pengguna dan income yang sangat besar dari Indonesia,” terang Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.
Ditambahkan oleh Pratama, ini jelas tidak sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menarik sebanyak mungkin uang warga negara Indonesia di luar negeri. Karena di saat yang bersamaan begitu banyak potensi devisa yang disedot oleh asing.
“Itu baru dari segi ekonomi. Bayangkan dari segi keamanan, dengan edukasi yang minim saat ini Indonesia rawan menjadi serangan asing. Kita tidak tahu, sebenarnya data yang kita simpan di cloud maupun dikirim lewat e-mail gratisan itu dipakan oleh mereka,” jelas pria asal Cepu jawa Tengah ini.
Pratama mencontohkan Tiongkok, yang berani menolak Google dan Facebook masuk ke negaranya, karena tidak mau mematuhi aturan di negeri tirai bambu tersebut. Namun bukan berarti rakyatnya tidak bisa menikmati media sosial dan surel (surat elektronik/e-mail). Pasalnya, pemerintah di sana sudah menyiapkan aplikasi alternatif seperti Baidu, Weibu dan QQ.
“Kuncinya, pemerintah mau dalam jangka menengah membangun aplikasi dan layanan yang dibutuhkan masyarakat. Mulai dari email, cloud, messenger dan aplikasi lainnya. Dengan memakai produk sendiri, masyarakat juga bisa diarahkan untuk berpindah secara bertahap,” terangnya.
Pratama sendiri melihat ini potensi bagus. Di mana pemakai internet Indonesia terus bertambah. Namun harus diikuti oleh kesiapan pemerintah menyiapkan SDM, layanan dan aplikasi lokal yang mudah dipakai dan bermanfaat, sehingga mudah diterima masyarakat.
“Membangun aplikasi maupun infrastruktur cyber harus diikuti oleh membangun kesadaran keamanan cyber. Jadi di setiap langkah yang diambil pemerintah, selalu memperhatikan keamanan. Jangan sampai seperti e-Goverment milik Estonia yang di tahun 2007 lumpuh karena diserang hacker asal Rusia,” jelas mantan Plt Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara ini.
Karena itu, Pratama menambahkan perlunya ditingkatkan kemampuan cyber intellgence yang memungkinkan pemerintah bisa mendeteksi potensi serangan cyber. Untuk itu, di masa depan, instansi intelijen terkait bisa proaktif bersama badan yang mengurusi keamanan cyber untuk melakukan perekrutan programmer andal. Tujuannya bukan untuk memata-matai warga sendiri, namun memetakan potensi serangan cyber.