JAKARTA, PCplus – Di era big data, analisis data harus dilakukan agar perusahaan bisa memenangkan persaingan bisnis. Data yang ada harus dianalisis dan diolah agar bisa menjadi landasan untuk memprediksi langkah yang akan diambil di masa depan.
Untuk itulah dibutuhkan data scientist. Namun mereka yang punya keahlian seperti ini, tutur Erwin Z. Achir (President Director, PT Tdata Indonesia) dalam media briefing di Jakarta tadi siang (16/12/2014), sangatlah jarang.
“Ini jadi peluang. Karena Indonesia masih early adopter (untuk big data), perlu disiapkan soft skill dan hard skill untuk infrastrukturnya,” kata Erwin.
Data scientist, tambah Fajar Muharandy (Chief Solution Architect, PT Tdata Indonesia), adalah gabungan dari ahli statistika dengan mereka yang lama bermain-main dengan data. “Di Indonesia masih kurang (jumlahnya). Awalnya mereka industry specific tapi lalu jadi cross industry. Kondisi ini bak ayam dan telur. Harus dimulai dari sektor pendidikan,” ujar Fajar.
Menanggapi hal itu, Erwin mengatakan bahwa prinsipalnya, Teradata, sudah memiliki program sertifikasi untuk data scientist. “Tapi belum dijual ke publik.”
Sekadar informasi, gaji data scientist di AS cukup menggiurkan loh. Menurut riset bulan Maret 2014, seorang data scientist bisa digaji sampai US$ 111.000, lebih tinggi dibandingkan data analyst yang mencapai US$ 70.000. Profesi ini pun bisa lintas industri.
Eh tapi sebenarnya besar tidak ya pasar big data? Menurut Erwin, sangat besar. “US$ 70 miliar di seluruh dunia. Pertumbuhannya 17%. Di Indonesia besar, tapi (kami) tidak ada data(nya),” ungkap Erwin.