JAKARTA, PCplus – Cloud sudah menjadi perbincangan sejak beberapa tahun belakangan ini. Banyak manfaat yang bisa didulang dari pemanfaatan cloud. Lebih efisien dari biaya operasional, juga sumberdaya, begitu katanya.
Kendati manfaatnya sudah banyak dibahas, belum semua perusahaan bersedia segera beralih ke cloud. Alasannya macam-macam, mulai dari masalah keamanan dan privasi sampai nasib perangkat dan infrastruktur yang sekarang dipakai (legacy system). Ada juga yang tidak bisa memutuskan cloud mana yang sebaiknya dipilih: private, public atau open hybrid cloud.
“Keinginan dan kebutuhan untuk cloud sebenarnya di kawasan Asia ini sudah besar, tetapi pengetahuan dan kemampuan (untuk beralih ke cloud) terendah,” kata Tim Yeaton (Senior Vice President & Group Executive, Infrastructure Business Group, Red Hat) dalam Small Group Briefing di Jakarta tadi siang (23/9/2014).
Damien Wong (Senior Director & General Manager Asean, Red Hat Asia Pacific) kemudian mengingatkan bahwa ada beda antara virtualisasi tradisional dengan cloud. “Virtualisasi itu bukan cloud, karena tidak bisa melakukan scale-up,” jelasnya. Yang sekarang banyak terjadi di negara kita, tambah Damien, adalah virtualisasi tradisional, yang merupakan kekuatan VMWare.
Menurut Damien, Indonesia bisa melakukan lompatan katak dengan mengadopsi hybrid cloud. Loh apa itu open hybrid cloud? “Anggap saja sebagai infrastruktur, applikasi-aplikasi jalan secara alamiah di sana. Banyak perusahaan sudah pindah ke virtualisasi tapi sudah me-maintain-nya. Karena itu hadir private cloud yang lebih fekslibel, elastik karena bisa scale-up dengan cepat. Juga ada public cloud. Semua ini berbasis RHEL Red Hat, melakukan apa yang biasa dilakukan di Linux dengan OpenStack,” jelas Yeaton.
Yeaton mengungkapkan, saat ini sekitar 600 perusahaan sedang dalam tahap implementasi open hybrid cloud. “Masih dalam tahap awal. Tapi mereka mau masuk virtualisasi dan cloud.” Yeaton menambahkan, customer pun tidak perlu melakukan pilihan antara private dan public cloud.