
JAKARTA, PCplus – AFTA (ASEAN Free Trade Area – kawasan bebas perdagangan) makin dekat, tinggal setahun lagi. Sudah siapkah perusahaan-perusahaan di tanah air menghadapi ‘serbuan’ dari pihak-pihak luar yang mengandalkan teknologi informasi?
Perusahaan taksi lokal misalnya, kini sudah mulai berhadapan dengan perusahaan non-taksi yang menawarkan jasa pemesanan taksi. GrabTaxi asal Malaysia misalnya, sudah mulai beroperasi di Jakarta. Sebentar lagi EasyTaxi menyusul. Keduanya mengandalkan teknologi informasi (TI). Aplikasinya tersedia gratis di platform Android dan iOS.
Gunawan Susanto (President Director, PT IBM Indonesia) dalam dalam jumpa pers IBM Technology Conference & Expo 2014 di Jakarta tadi siang (17/6/2014) mengatakan perusahaan Indonesia seharusnya tak kalah bersaing dengan perusahaan luar di era AFTA nanti. Sebab teknologi informasi, termasuk dari IBM, bisa membantu perusahaan memenangkan bisnis dengan menawarkan layanan yang berbeda, unik. Yang penting, tekan Gunawan, adalah infrastruktur TI perusahaan. Infrastruktur ini haruslah kuat.
Mengapa? “Omong cloud, mobility, social media, semua butuh infrastruktur yang kuat. Public, private, juga hybrid cloud juga perlu infrastruktur yang kuat. Tren-nya itu sekarang. Pasar Indonesia tidak perlu tunggu tren datang 2 – 3 tahun lagi. Bukan jamannya bilang Indonesia nanti. Tapi sekarang,” terang Gunawan.
Gunawan menegaskan, infrastruktur TI merupakan tanggung jawab CIO. Namun yang perlu peduli dengan TI bukanlah hanya CIO. “Tapi CEO, CMO, dan semuanya. Mereka mau tahu bagaimana teknologi mengubah bisnis, berinovasi ke depan. Klien juga mulai berpikir bahwa teknologi bisa menganggu bisnis mereka. Misalnya perusahaan taksi dengan Uber. Industri vertikal tidak hanya bersaing dengan sesama bisnis. Karena itu CEO harus melihat potensi TI yang besar dan juga ancamannya yang tinggi.”
CIO, kata Gunawan, haruslah memiliki waktu untuk berpikir sehingga bisa berinovasi. “Inovasi diperlukan, tetapi back to basic harus bagus. Kalau sistem tidak secure, tidak bisa. IBM memberikan inovasi dengan infrastruktur yang kuat. Untuk mulai beroperasi, ‘dapur’ haruslah aman terlebih dulu. Kalau infrastruktur sedikit-sedikit rewel, CIO tidak punya waktu untuk berinovasi, kalau masih harus memikirkan membereskan operasi,” jelasnya. “CIO bukan harus di back-end lagi, tapi di depan,” paparnya.
Sebenarnya seperti apa sih posisi infrastruktur TI di mata para pemangku jabatan perusahaan? Scott Firth (Director, Software Marketing, STG, IBM) mengungkap hasil studi IBM Global Infrastructure yang melibatkan 750 perusahaan berbagai skala dan industri di dunia.
“Sejumlah 70% perusahaan menganggap infrastruktur TI penting untuk meningkatkan pendapatan dan laba perusahaan. Namun kurang dari 10% yang infrastruktur TI-nya sudah benar-benar siap untuk menjawab era cloud, big data& analytics, mobile dan social ,” kata Firth.
Data yang dikumpulkan Firth selama bulan Februari tahun ini dan akan diterbitkan bulan Juli mendatang itu juga mengungkapkan, 62% perusahaan akan menambah belanja infrastruktur TI-nya dalam 12 – 18 bulan ke depan. Akan tetapi sebagian besar dari mereka, sekitar 78%, ternyata tidak memiliki roadmap strategi infrastruktur yang terdefinisi dengan baik. “Ada kesenjangan besar antara rencana dan strategi perusahaan,” kata Firth.