JAKARTA, PCplus – Orang sekarang ingin pakai TI bak pakai listrik. Tinggal colok dan bisa langsung dipakai. Gaya ini bisa diwujudkan dengan menggunakan platform cloud (awan). Tinggal pilih provider-nya (kalau tidak mau bikin sendiri), dan pakai sesuai kebutuhan. Kalau kurang, ya tinggal ditambah dan bayar sesuai pemakaian (storage, server). Tidak usah repot beli hardware dan software sendiri.
Salah satu penyedia solusi cloud adalah Indonesian Cloud. “Kami penyedia solusi cloud mission critical. Kami bukan system integrator karena tidak jualan hardware. Juga bukan penyedia telekomunikasi yang jualan line. Kami ingin menyediakan enterprise cloud bagi para customer. Kami punya platform cloud sendiri,” ucap Neil Cresswell (Managing Director & Chief Technology Officer, Indonesian Cloud) dalam press briefing di Jakarta tadi siang (26/11/2013).
Ada tiga model yang ditawarkan Indonesian Cloud, yakni compute cloud, manage cloud dan your cloud, alias private, dedicated dan hybrid cloud. Juga virtualisasi data center, layanan konsultasi dan pengelolaan dan disaster recovery. Sama dong ya dengan tawaran penyedia solusi cloud lain?
“Kami memberikan garansi uptime 99,5%. Kalau down 1 jam, kami beri hosting credit satu hari. Kami yang satu-satunya memberikannya,” jelas Cresswell tentang keunikan perusahaannya yang berdiri sejak 2011 itu.
Kok 99,5%, dan bukan 99,9% ya garansi uptime-nya? Angka 99,5% itu, jelas Cresswell, sesuai dengan klaim dari penyedia telekomunikasi. “Ini batasan dari infrastrukturnya,”kata pria asal Selandia Baru tersebut.
Selain jaminan uptime 99,5%, Indonesian Cloud juga memberikan jaminan kepuasan dalam 30 hari. Jika merasa tidak puas menggunakan solusi Indonesian Cloud dalam kurun 30 hari, pengguna boleh berhenti.
Keyakinan Indonesian Cloud menawarkan garansi ini, tutur Cresswell, berkat penggunaan solusi storage dan manajemen data terintegrasi dari NetApp, Clustered data ONTAP dan FAS3270. “Storage adalah bagian yang paling kritikal dari cloud computing. Maunya sih yang cepat dan murah. “
Pemilihan NetApp, urai Cresswell didasarkan pada empat hal. Pertama, karena fitur block level dedupilication. Kedua, adanya flash cache (RAM) sebesar 2TB yang menurunkan resiko boot storm dan membantu menormalkan lonjakan (spike) sesuai kebutuhan. Faktor ketiga adalah kekuatan replikasi, antara lain dengan adanya snapshot sehingga bisa melakukan rollback jika terjadi masalah untuk kembali ke titik terakhir sebelum masalah terjadi. Dan faktor terakhir adalah kinerja. “Tidak perlu korbankan kapasitas sampai 50% untuk kinerja,” kata Cresswell.

Aman tidak ya simpan data di cloud? Menurut Cresswell, justru cloud lebih aman. “Dibandingkan lingkungan-lingkungan lain, cloud adalah yang paling aman. Ada banyak, 16, lapisan enkripsi sebagai pengaman, “ katanya sambil mengutarakan bahwa perusahaannya punya dua pusat data. Maka customer Indonesian Cloud bisa memilih antara massive bandwidth atau massive security. “Kebanyakan pilih massive bandwidth,” kata Cresswell.
“Perlu waktu untuk adopsi (cloud) di Indonesia karena dianggap tidak aman. Perlu edukasi pasar melalui penyedia cloud yang sajikan layanan yang terbukti. Selain itu perlu tekanan dari pasar. Tapi waktu akan membuktikan kebutuhan akan cloud. Momentumnya sudah terlihat, ada pergeseran ke shared infrastructure akibat biaya,” timpal Steven Law (Country Manager, NetApp Indonesia).
Eh omong-omong siapa saja pengguna jasa Indonesian Cloud? Ternyata beragam industri loh. Contoh perusahaannya adalah Orange TV, bank BTN, Bata, asuransi Jasindo, Aqua, Jamsostek, Bata, MNC Shop, Garuda Food, Samsung dan Sinar Himalaya.
“Kami menyasar perusahaan lokal, karena ingin bantu mereka berkompetisi. Soalnya perusahaan-perusahaan multinasional yang masuk sudah menggunakan cloud,” jelas Cresswell sambil mengatakan bahwa mereka menawarkan kualitas dan harga yang sama untuk semua calon pelanggannya, entah itu yang berskala kecil maupun besar.
“Kalau mau bisa mengantarkan TI secara lebih cepat dan lebih murah, tidak ada cara lain bagi perusahaan telekomunikasi selain pakai cloud, shared infrastructure,” kata Steven Law mencontohkan. Cresswell memaparkan penghematan biaya berkat deduplication data NetApp. Dengan DeDup, cukup bayar US$ 500 ribu untuk kapasitas 40TB selama 48 bulan, atau 25 sen GB/bulan. Tapi tanpa DeDup, biaya untuk 20TB selama 48 bulan adalah US$ 500 ribu, atau 52 sen GB/bulan.